Mengenal Tari Didong

Didong merupakan salah satu kesenian rakyat Gayo. Di dalam kesenian ini terdapat berbagai perpaduan antara unsur vocal, tari dan sastra. Tari Didong sudah ada sejak zaman dahulu, yaitu dimulai sejak zaman Reje Linge XIII. Ada beberapa seniman yang peduli akan kelestarian Didong ini. Salah satu seniman yang peduli tersebut adalah Abdul Kadir To’et. Semenjak muda beliau memang sudah sangat peduli dengan kesenian ini. Kesenian Didong cukup memiliki penggemar di dalam masyarakat. Ada dua kelompok masyarakat yang sangat menggemari Didong yaitu masyarakat Bener Meriah dan Takengon.


1. Makna Tari Didong

Secara makna memang belum ada yang bisa merinci secara baku makna dari Tari Didong. Ada pendapat yang mengatakan bahwa kata ‘’didong’’ itu lebih mendekati ke kata ‘’denang’’ atau ‘’donang’’. Jika diartikan maka kedua kata tadi bermakna ‘’nyanyian sambil bekerja atau menghibur hati atau bersama-sama dengan bunyi-bunyian’’. Namun selain itu ada pendapat lain tentang makma Didong, yaitu berasal dari kata ‘’din’’ dan ‘’dong’’. Disini ‘’din’’ memiliki arti agama dan ‘’dong’’ memiliki arti dakwah.

Baca Juga :
Mengenal Tari Saman Dari Nanggroe Aceh Darussalam
Tari Jaipong Sebagai Tari Tradisi Asli Sunda 

2. Fungsi Tari Didong

Awalnya kesenian didong ini hanya digunakan sebagai sarana bagi penyebaran agama Islam. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa zaman dahulu media untuk menyebarkan agama islam sangatlah terbatas. Salah satu fasilitas yang sangat ampuh untuk menyebarkan agama islam adalah dengan mengadakan pertunjukan seni. Tentu kita ingat kesenian di Jawa yaitu Wayang yang dipakai oleh Sunan Kalijaga untuk menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa. Sebutan untuk senimann didong adalah ceh didong. Agar pertunjukan tari didong ini tidak cuma sekedar pertunjukan biasa, maka peran seorang ceh didong sangatlah penting agar seni ini bisa memberi pesan kepada penontonnya.

Disini para ceh didong tidak semata-mata hanya menyampaikan tutur terhadap penonton yang dipoles dengan nilai-nilai estetika, akan tetapi para ceh didong memiliki tugas agar bisa menjadikan masyarakat pendengarnya bisa memaknai hidup. Maksudnya memaknai hidup disini adalah hidup sesuai dengan realitas dari kehidupan para Nabi dan para tokoh Islam. Di dalam pertunjukan Tari Didong terdapat nilai-nilai yang religius, nilai-nilai kebersamaan, nilai-nilai keindahn dan lain-lain. Maka dari itu, di dalam penyajian Didong para ceh tidaklah cuma dituntut untuk bisa menguasai cerita-cerita yang religius tetapi juga dituntut untuk mampu bersyair. Selain itu juga para ceh juga harus mempunyai suara yang indah dan merdu serta dia memiliki tindak tanduk dan perilaku yang baik.

Singkat kata, seorang seniman sejati seperti ceh ini adalah salah satu seniman yang mempunyai banyak sekali kelebihan. Kelebihan-kelebihan tersebut menyangkut segala aspek yang memiliki kaitan dengan fungsinya untuk bisa menyebar luaskan ajaran Agama Islam. Tari Didong pada saat itu hampir senantiasa turut dipentaskan pada perayaan hari-hari besar Agama Islam. 

3. Perkembangan Tari Didong

A. Penari Didong Pada Masa Hindia Belanda


Di dalam perkembangannya, Tari Didong tidak cuma dipertunjukkan pada saat datangnya hari-hari besar Agama Islam saja, tetapi juga di dalam penyelenggaraan upacara adat. Contoh dari upacara adat antara lain khitanan, perkawinan, panen raya, mendirikan rumah dan penyambutan tamu dsb. Biasanya para pe-didong di dalam pementasannya memakai tema yang disesuaikan dengan jenis upacara yang sedang berlangsung. Misalnya pada penyelenggaraan upacara perkawinan, maka disana akan disampaikan teka-teki yang seputar aturan adat perkawinan setempat. Sehingga seorang pe-didong wajib untuk menguasai dengan mendalam seputar adat perkawinan yang berlaku di masyarakat. Diharapkan dengan menggunakan cara ini maka masyarakat akan bertambah pengetahuannya tentang adat istiadat masyarakatnya dan supaya bisa terus dilestarikan. Para ceh akan mencari nilai-nilai yang hampir punah untuk dikolaborasikan kedalam kesenian didong.

Setelah Tentara Jepang masuk ke Indonesia, maka penampilan dari kesenian Didong mengalami perubahan. Kerasnya pemerintahan pada masa Penjajahan Jepang mengakibatkan kesenian Tari Didong ini menjadi porak-poranda. Di saat Jepang berkuasa, Kesenian Didong hanya digunakan untuk sarana hiburan bagi para tentara Jepang yang menguasai tanah Gayo. Persoalan ini justru membuat masyarakat Gayo terinspirasi untuk mengembangkan Didong. Yang awalnya dulu hanya berfokus kepada hal-hal yang religius dan adat istiadat, namun lambat laun berkembang ke arah permasalahan sosial dengan disisipkan simbol-simbol protes kepada pemerintahan Jepang kala itu. Setelah datang masa proklamasi, maka seni pertunjukan Tari Didong dipakai untuk sarana bagi pemerintah Indonesia di dalam menjembatani informasi sampai ke pelosok desa.

Dalam hal ini untuk menjelaskan tentang Pancasila, UUD 1945 dan juga semangat bela negara. Disamping itu, Didong juga dipakai untuk mendorong semangat bergotong-royong, khususnya untuk pencarian dana pembangunan sekolah, masjid, madrasah, bahkan juga pembangunan jembatan. Tetapi sekitar tahun 1950-an saat pemberontakan DI/TII bergejolak maka mengakibatkan kesenian ini terhenti karena pemberontak DI/TII melarang adanya acara ini. Karena pelarangan ini, maka kesenian Didong diganti dengan kesenian yang baru yang dinamakan Saer, diamana bentuknya hampir sama dengan kesenian Didong. Yang membedakan kesenian Didong dengan kesenian Saer bisa dilihat dari bentuk unsur gerak dan tari dan juga tidak dibolehkannya tepok tangan dalam Saer.

Baru-baru ini telah muncul kembali Didong yang memakai lirik-lirik yang hampir mirip saat kekuasaan Jepang, yaitu berupa protes atau anti kekerasan. Perbedaannya, protes yang dialamatkan kepada pemerintah yang selama ini menerapkan Provinsi Aceh sebagai Daerah Operasi Militer yang pada akhirnya membuat sengsara masyarakat. Gerakan protes anti kekerasan sebetulnya tidak hanya terjadi terhadap kesenian Tari Didong, akan tetapi juga pada kesenian-kesenian yang lainnya yang ada di Provinsi Aceh.

B. Pemain dan Peralatan Tari Didong

Di dalam kesenian Didong, biasanya satu kelompok terdiri atas para “Ceh” serta anggota lainnya yang dinamakan dengan “Penunung”. Untuk jumlahnya sendiri bisa mencapai 30 orang, yang mana disana terdiri dari 4 – 5 orang ceh dan sisanya penunung. Ceh merupakan orang yang diwajibkan mempunyai bakat yang lengkap dan memiliki tingkat kreativitas yang tinggi. Seorang Ceh harus juga bisa membuat puisi-puisi dan bisa menyanyi. Dalam penguasaan lagu-lagu, maka seorang Ceh juga harus memiliki kreativitas. Sebab irama dalam lagu-lagu tersebut belum tentu bisa cocok dengan berbagai karya sastra yang berbeda.

Umumnya para anggota kelompok Tari Didong ini terdiri atas laki-laki dewasa. Tapi, akhir-akhir ini sudah bergeser menjadi perempuan-perempuan dewasa. Selain itu juga ada juga dari kalangan para remaja baik itu laki-laki semua, perempuan semua maupun campuran dari keduanya. Biasanya kalau didalam kelompok campuran, peran perempuan hanya sebagai seorang Ceh. Zaman dahulu untuk peralatan yang dipakai menggunakan bantal dengan cara ditepuk dan juga menggunakan tangan dengan cara tepukan tangan para pemainnya. Akan tetapi pada perkembangannya, penggunaan alat musik sudah mulai ditambahkan, yaitu berupa harmonika, seruling dan alat-alat musik yang lainnya.

C. Pementasan Tari Didong

Untuk pementasan tari Didong sendiri ditandai dengan tampilnya dua kelompok (Didong Jalu) pada arena pertandingan. Dimana disitu terdapat juga tenda ataupun ada juga yang menggunakan tempat terbuka untuk pementasannya. Kelompok yang sedang bertanding semalam suntuk akan saling mendengarkan teka-teki serta saling manjawab satu sama lain. Disini para seniman yang terjun disitu akan bergantian saling membalas ‘’serangan’’ yang berupa lirik-lirik yang yang diucapkan oleh lawannya. Liriknya bertemakan tentang seputar pendidikan, pesan-pesan pemerintah (saat zaman orba), keluarga berencana, keindahan alam ataupun mengeluarkan kritik tentang kelemahan-kelemahan, dan juga kerancuan yang sedang ada di dalam masyarakat.

Jawaban-jawaban yang disampaikan maka akan dinilai oleh para juri yang ada. Para juri ini biasanya beranggotakan para masyarakat yang secara umum sudah memahami tentang seputar Tarian Didong dan sudah mendalaminya. Demikianlah artikel kita kali ini yang bertemakan Mengenal Tari Didong. Semoga bermanfaat bagi kita semua untuk menambah wawasan budaya yang ada di Indonesia. Sampai bertemu lagi di artikel-artikel berikutnya yang tentunya lebih menarik. Saran dan kritik yang membangun saya harapkan supaya blog ini bisa terus eksis di Indonesia. Salam.




EmoticonEmoticon