Sejarah Tugu Jogja Yang Menjadi Landmark Kota Jogjakarta

Halo sahabatku sekalin, bagaimana kabar kalian? Tentunya baik-baik saja bukan. Pada kesempatan kali ini saya akan berbagi artikel tentang Sejarah Tugu Jogja Yang Menjadi Landmark Kota Yogyakarta. Baiklah, tidak usah panjang lebar, kita langsung saja pada inti pembahasan. Tugu Jogja merupakan Landmark dari kota Jogjakarta yang paling dikenal. Monumen ini letaknya ada tepat di tengah perempatan jalan. Yaitu antara jalan Pangeran Mangkubumi, jalan Jenderal Sudirman, jalan AM Sangaji, dan jalan Diponegoro. 


Keberadaan Tugu jogja usianya sudah mencapai hampir 3 abad. Tugu ini memiliki makna yang dalam sekaligus menyimpan beberapa rekaman sejarah kota Jogjakarta. Tugu ternyata juga menjadi salah satu poros imajiner pihak keraton Jogjakarta. Jika ditarik garis lurus dari selatan ke utara atau sebaliknya, maka akan ditemukan garis lurus yaitu laut selatan yang konon dikuasai oleh Kanjeng Ratu Kidul, Krapyak, Keraton Jogjakarta, Tugu, dan Gunung Merapi.

Baca Juga :
Inilah 8 Situs Warisan Dunia UNESCO yang Harus Dikunjungi
Sejarah Asal Mula Jalan Malioboro di Yogyakarta

Bahkan Sultan sebagai penguasa Keraton Jogjakarta jika duduk di singgasana di sisi pinggir keraton, ia bisa memandang ia bisa melihat Gunung Merapi di sisi utara. Ikatan magis antara Laut Kidul, Keraton dan Gunung Merapi hingga saat ini dipercaya oleh warga Jogja. Oleh sebab itu budaya larungan selalu dilaksanakan pada bulan syuro di Laut Selatan maupun Gunung Merapi oleh pihak keraton. Tugu ini dibangun oleh Hamengkubuwono I (Pendiri Keraton Jogjakarta) untuk memperingati perjuangan bersama-sama rakyat dalam melawan penjajah.

Sehingga menghasilkan Perjanjian Giyanti yang terjadi pada Kamis Kliwon Jumadilawal tahun 1680 atau 13 Februari 1755 yang membagi Mataram menjadi 2 wilayah Kesultanan yaitu Kesultanan Surakarta Hadiningrat dan Kesultanan Ngayokjakarto Hadiningrat. Dengan badan bangunan tiang berbentuk cilinder atau disebut gilik dan berbentuk bulat seperti bola atau golong pada puncaknya terbuat dari batu bata. Catatan waktu yang tepat untuk pembangunan tugu ini belum dapat ditemukan.

Akan tetapi menurut perkiraan para pakar sejarah, bangunan ini didirikan setahun setelah Perjanjian Giyanti dan Pangeran Mangkubumi sudah bergelar Sri Sultan Hamengkubuwono I yang berkedudukan di Kasultanan Ngayogjakarta. Pendapat ini didasarkan pada bangunan tugu yang didirikan di sebelah utara siti hinggil Keraton Jogjakarta atau 2,5 km keraton dan apabila ditarik garis lurus, tugu ini dapat berada di satu garis dengan keraton Jogjakarta.

Sehingga selain berfungsi sebagai tugu pemandangan, pada saat Sri Sultan duduk diatas singgasananya di Bangsal Manguntur Tangkil dan sebagai petunjuk bagi masyarakat yang akan menghadap Sultan. Tetapi sangat disayangkan, masyarakat sekarang belum pernah menyaksikan bentuk tugu Golog Gilig asli ciptaan Sri Sultan Hamengkubuwono I. Karena pada hari Senin Wage Tanggal 4 Safar tahun 1796 atau 10 Juni 1867 Kota Jogjakarta diguncang gempa bumi yang sangat dasyat sehingga tugu tersebut roboh menjadi tiga bagian. Pada saat awal berdirinya bangunan ini secara tegas menggambarkan manunggaling kawulo gusti (semangat persatuan rakyat dengan penguasa) untuk melawan penjajah.

Bangunan tugu merupakan bentuk atau gambaran Semangat persatuan atau yang disebut golong gilig. Bentuk tiangnya silinder atau gilig dan puncaknya berbentuk golong atau bulat. Oleh karena itulah mengapa Tugu tersbeut disebut Tugu Golong Gilig. Di awal pembangunannya Tugu Jogja saat pertama kali dibangun bentuknya berupa tiang silinder yang panjang dan mengerucut keatas. Di bagian bentuk dasarnya berupa pagar yang melingkar. Sedangkan pada bagian puncak bentuknya bulat. Ketinggian bangunan tugu pada awalnya mencapai 25 meter.

Kemudian pada tahun 1889 saat pemerintah Belanda merenovasi bangunan tugu, tugu itu kemudian diperbaiki oleh Opzichter van Waterstaat atau kepala dinas pekerjaan umum JWS van Brussel di bawah penguasaan Pepatih Dalem Kanjeng Raden Adipati Danurejo V. Lalu tugu baru itu diresmikan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono VII pada 3 Oktober 1889 atau 7 Safar 1819 tahun jawa. Oleh pemerintah Belanda tugu itu disebut De Witt Paal atau tugu putih. Ketinggian bangunan juga lebih rendah, hanya sekitar 15 meter atau 10 meter lebih rendah dari bangunan semula.

Pada bulan November tahun 2012 Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X menerima paku emas dan akan ditancapkan pada bagian puncak atau pucuk Tugu Pal Putih Jogjakarta yang berbentuk uliran dari kayu jati. Pemberian paku emas ini merupakan rangkaian renovasi penginggalan bersejarah yang dibuat pada masa Sri Sultan Hamengkubuwono Ke VII tersebut. Sultan menerima paku emas dari kepala dinas kebudayaan Daerah Istimewa Yogjakarta GBPH Yudaningrat dan kemudian dipasang pada puncak.

Puncak Tugu Pal Putih Jogjakarta telah keropos sehingga harus diganti dengan kayu baru. Adapun bangunan ini telah berusia ratusan tahun. Sehingga sangat wajar jika saat ini sering ada perbaikan. Kayu pengganti puncak didatangkan dari Blora Jawa Tengah. Kayu tersebut adalah kayu jati berusia ratusan tahun dengan tinggi 1,5 meter dan diameter di bagian bawah 36 centimeter.

Demikianlah artikel kali ini tentang Sejarah Tugu Jogja Yang Menjadi Landmark Kota Yogyakarta. Semoga artikel ini bisa menambah wawasan bagi anda khususnya bagi saya sendiri. Saran, Kritik dan masukan yang membangun sangat dibutuhkan untuk kemajuan blog ini. Silahkan isi bagian komentar bagi anda yang ingin berkomentar. Terima Kasih


Sumber Artikel : kitabicara.tv


EmoticonEmoticon